Kisah Anak yang Kehilangan Dirinya
9:32 AMInilah kisah seorang anak yang kehilangan dirinya, anak yang tumbuh cacat, tanpa sadar.
Tulisan ini, saya
tulis dari hati saya yang terdalam, belum pernah saya utarakan segamblang ini
kepada siapapun.
Saya menulisnya
demi saya sendiri, demi saudara-saudara yang saya cintai dan demi orang-orang
yang barangkali pernah mengalami hal yang saya alami, saya berharap, perasaan
saya lebih lega setelah menuliskan ini dan siapapun yang membacanya bisa
menarik pelajaran dari tulisan saya ini.
Saya adalah
seorang perempuan yang saat ini, berumur 25 tahun, hari ini saya sedang
beristirahat di kamar saya, memulihkan diri dari anemia akibat menstruasi yang
berlebihan, badan saya sedikit pusing dan lemas, namun semangat menulis saya
tinggi!Saya ingin sekali menumpahkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran
saya mengenai kejadian penting yang baru saya alamiJ
Beberapa hari
yang lalu, tepatnya hari Selasa, Tuhan menganugerahi saya dengan kesadaran dan
pengetahuan baru.
Sebuah kalimat
suci mengatakan ”Truth will set you Free” Itulah yang terjadi dalam diri saya
ketika saya mulai merenungkan informasi yang baru saya terina ini.
Saya
merasa lebih bebas! Pengetahuan ini telah membantu saya bercermin.
Kini
saya mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup saya, siapa diri saya
sebenarnya, dan kondisi hidup saya yang sebenarnya.
sad child, source:google |
Kini
saya tahu bahwa saya cacat. Ada
luka yang dalam dan berdarah di hati saya, luka yang bertahun-tahun belum
pernah ditangani&diobati. Sebelumnya saya tidak mengetahui keberadaan luka
ini, atau mungkin sebenarnya saya tahu, namun tidak ingin saya akui
keberadaannya, Selama ini saya telah menipu diri saya, Saya selalu berkata saya
baik-baik saja, namun sesungguhnya, jiwa saya sakit dan terluka, Saya pura-pura
bahagia dibalik topeng wanita muda yang penuh senyuman..Kehidupan penuh
tekanan, menyedihkan dan tidak membahagiakan. Dan untunglah! kehidupan
pura-pura saya akan berakhir sampai disiniJ Tuhan telah menolong dan menjawab doa saya, Dia
menganugrahi saya dengan pemahaman dan kesadaran yang mengubah hidup saya.
Semuanya diawali
oleh pengetahuan baru yang akan saya ceritakan disini..
Pengetahuan ini
saya terima saat mengikuti training publik mengenai Effective Interpersonal
Communication, yang diadakan oleh executive coach Miranda Suryadjaja
di Ubud-Bali. Secara keseluruhan training ini berisi materi cara berkomunikasi
yang efektif. Dalam training ini, dijelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar seorang
bayi manusia ketika dilahirkan di dunia ini hingga anak itu cukup dewasa dan bisa
hidup mandiri, kebutuhan itu adalah kebutuhan
batin/emosional sebagai berikut:
5 KEBUTUHAN EMOSI
DASAR:
1. Respect-merasa
dihargai,
contoh: tidak
dipotong ketika berbicara, tidak dipaksa memakan sesuatu yang tidak disukai
asal sudah dicoba, tidak dimaki dengan kasar atau diteriaki saat membuat
kesalahan,
2. Importance-merasa
penting,
contoh: orang tua
meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk duduk dan mendengarkan cerita saya,
3.
Acceptance-merasa diterima,
contoh: saya tidak
dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain, saat kita melakukan kesalahan, saya
diberikan desempatan untuk menjelaskan dan didengarkan, diterima dan dicintai
apa adanya
4. Secure-merasa
aman,
contoh: ketika
saya sakit orang tua saya menjaga dan memperhatikan, sesusah apapun keluarga
kamu, orang tua kami tidak mengeluh dan selalu berbahagia, orang tua saya baik
hati, lembut, pengasih, dan sangat mencintai satu sama lain.
5. Inclusion-merasa
dilibatkan,
Contoh: ayah dan
ibu suka bercerita dan mendongeng, kita selalu melakukan kegiatan yang
mengasyikan di akhir pekan bersama-sama,
Kelima kebutuhan
dasar ini merupakan kebutuhan yang sangat penting, kewajiban dari orang tua dan
merupakan hak dari anak. Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang dan dipenuhi
kebutuhan emosinya niscaya akan bertumbuh sebagai Marusia dengan kondisi batin
yang sehat.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tidak mendapatkan hal-hal
tersebut? Tidak dihargai, tidak dianggap penting, tidak diterima apa adanya,
tidak merasa aman, dan tidak pernah merasa menjadi bagian keluarga. Bertumbuh
menjadi anak-anak seperti apakah mereka? Saya jadi teringat dengan sebuah buku
yang berjudul ‘A Child called it’ Anak yang tidak diberikan ke-5 hal diatas
mungkin tidak ada bedanya dengan barang-alias ‘it’, tidak diperlakukan
sebagai mana layaknya anak manusia, siapa yang tahu akan jadi manusia seperti
apa anak-anak yang dibesarkan tanpa pemenuhan kebutuhan dasar emosi ini?Siapa
tahuJ..tapi..
Mungkin anak-anak
itu tumbuh menjadi manusia seperti saya..:)
dan seperti
adik-adik saya, seperti beberapa teman yang saya kenal, atau seperti beberapa
teman yang kalian kenal dan masih banyak lagi:)
Jadi manusia
seperti apakah kita? Anak-anak yang tidak dipenuhi kebutuhan emosi dasarnya?
Apakah menjadi jahat?tidak jugaJ yang saya tahu dari pengalaman dan
pengamatan saya, anak-anak ini bertumbuh menjadi orang-orang dengan berbagai
macam karakter dan sifat, tidak melulu negatif!sebaliknya sangat-sangat
positif!ada yang menjadi sangat-sangat rajin dan selalu juara kelas, ada yang
menjadi sangat-sangat murah hati dan selalu menolong orang-orang susah, ada
yang menjadi sangat lembut, sangat ramah, sangat suka tersenyum, mereka sangat
cantik dan sangat indah, namun mungkin..mungkin saja, dibalik ketegaran dan
kehidupan mereka yang terlihat normal, mungkin saja luka dan hampa itu masih ada,
segar, menganga dan berdarah. Jauh di dasar hati, sakitnya muncul disaat-saat
mereka lelah dan sendiri.
Perasaan yang hampa, sedih dan tidak lengkap,
perasaan sepi dan lelah, perasaan rindu dan haus akan kasih sayang dan cinta
yang tanpa syarat yang seharusnya didapatkan dari kedua orang tuanya sejak dia
kecil.
Lalu kadang amarah,
rasa kecewa, rasa ingin menangis dan mengamuk sekeras-kerasnya memenuhi hati, saya
sebagai contoh, sering merasa iri dengan anak-anak yang memiliki orang tua yang
baik dan penuh kasih sayang dan mulai merasa bahwa dunia ini tidak adil.
Beberapa orang
mungkin lantas menyalahkan orang tua mereka. Tapi bagi mereka yang menyadari,
bahwa orang tua kita juga mengalami hal yang sama menyakitkannya, bahwa orang
tua kita hanyalah korban dari orang tua mereka sebelumnya, dan orang tua mereka
yang sebelumnya juga merupakan korban dari generasi yang lebih tua lagi, kita
tidak sanggup menyalahkan siapa-siapa.
Lantas kita
memerangi rasa hampa itu sendiri, mencari berbagai cara untuk menutupi dan
mengisi kekosongan di dalam hati kita, berlari pada Tuhan minta penjelasan,
menjerit dan berdoa, merasa damai sejenak untuk kembali lemah disaat susah, dan
kita sebenarnya tidak bisa menutupi lubang yang dibuat orang tua kita, lubang
yang seharusnya diisi dengan kasih sayang mereka.
Dan saat kita
yang masih diam-diam terluka ini menikah dan memiliki anak, kita tanpa sadar
kembali lalai untuk memberikan kasih sayang tanpa syarat kepada anak-anak kita itu
karena justru, kita berharap mereka lah yang akan mengisi kehampaan di hati
kita! lubang luka yang ditinggalkan orang tua kita dahulu, kita mengharapkan
anak-anak kita yang mengisinya. Demi membahagiakan kita, kita menuntut anak
kita untuk memberi kita rasa berharga, rasa penting, rasa aman, rasa diterima,
rasa dilibatkan. Caranya?dengan mengatur hidup mereka sebagai mana hidup kita
diatur orang tua kita dahulu, dengan memaksakan hal-hal yang tidak mereka sukai
hanya untuk menunjukan bahwa kita lebih superior dari mereka, menjadikan mereka
menghormati kita supaya kita merasa berharga, mengulangi kembali teror-teror
yang dilakukan orang tua kita kepada kita..dan tanpa sadar dan sejarah pun
kembali terulang.
Kita dijebak
sekali lagi oleh lingkaran luka, kecuali kita berhenti disini. Diruang dan
waktu ini. Berusaha sekuat tenaga menarik diri kita yang sesungguhnya terluka
dan kita sembunyikan disudut gelap hati kita. Menarik lubang luka hati kita
ketempat yang terlihat cahaya, mengakui bahwa kita marah, sakit dan kecewa,
mengakui bahwa kita sakit dan cacat dan berhenti berpura-pura bahwa kita
baik-baik saja.
Lubang luka ini
semakin busuk dan dalam, karena kita tidak pernah mau merasakan keberadaannya.
Kita berpura-pura bahwa luka itu tidak ada!
Kita berkata,
tidak apa-apa, saya tidak apa-apa, saya baik-baik saja, kejadian masa kecil itu
sudah saya lupakan, orang tua saya sudah saya maafkan, namun tidak seperti itu
kenyataannya. Luka itu tetap ada hanya saja disembunyikan dan diabaikan karena
kita takut merasakan rasa sakitnya,kita mau menghindarinya saja.
Namun Kita tidak
bisa sembuh kalau kita mengabaikan luka kita. Seperti masalah yang tidak akan
selesai kalau dihindari, Luka tidak bisa sembuh kalau diabaikan.
Cara
menyelesaikan masalah adalah dengan menghadapinya, Cara menyembuhkan luka kita,
adalah dengan merasakan sakitnya, merasakan sakit sampai ke ujung-ujungnya!sampai
ke titik nadir, kata Ibu Miranda. Menerima serbuan perasaan perih dan luka
dengan segenap keberanian, lalu berespon dengan jujur terhadap rasa sakit nya,
berteriak lah karena sakit! menangislah sekencang-kencangnya, tonjoklah karung
tinju sekeras-kerasnya karena kesal, marah lah, berteriaklah, menangis dan
mengamuklah!berdukalah karena luka dan pedih yang kita rasakan. Biarkanlah
segenap emosi itu melanda sampai ke ujung diri kita, sehingga dia bisa pergi
dengan bebas dan meninggalkan batin kita dalam keadaan yang bersih, seperti
ruangan kotor yang habis disapu.
Mungkin ada dari
kita yang merasa, ini aneh!melampiaskan emosi itu tidak baik!
Tentu saja tidak
baik kalau dilampiaskan kepada orang lain!dan itulah yang akan terjadi apabila
emosi kita redam dan tumpuk tanpa diekspresikan. Emosi itu bertumpuk dan
meledak ketika kita menghadapi perilaku orang disekitar kita yang kita sayangi yang
mungkin tanpa sengaja membuat kita kesal dan akhirnya kita meledak..membuat
luka di hati orang. Emosi ini lebih baik diselesaikan disaat yang sama ketika
dia datang. Jangan kita hindari, jangan kita simpan untuk nanti, tapi biarkan
lah emosi itu melanda kita dan membuat kita berteriak, menangis atau menonjok
sekalipun(asal jangan menonjok orang lain!tonjok karung tinju!). Lantas dia akan
pergiJ
Sejak kecil kita
biasa dimarahi kalau menangis, dihukum kalau marah, dilarang untuk
mengekspresikan perasaan kita, Bukan diajarkan untuk menghadapi, merasakan dan
menyelesaikan emosi, sebaliknya kita malah diajarkan untuk tidak merasakan
kesedihan dan menyembunyikan amarah. Sehingga pada awalnya pelepasan emosi ini
mungkin akan terasa janggal bagi kita. Namun, yang saya rasakan, saat kita mencoba
merasakan dan menghadapi segenap emosi kita, disaat itulah dengan ajaib, kita
bisa merasakan keutuhan diri kita yang sebenarnya. Kita seolah berjumpa dengan
sisi gelap kita, yang selama ini kita takuti dan kita benci padahal
sesungguhnya ia adalah juga bagian dari diri kita. Kita menolak marah, menolak
nangis, menolak lemah, menolak sakit, kita hanya mau bahagia, senang, gembira
dan senyum! Padahal keduanya adalah sama sama bagian dari diri kita. Tidak ada
emosi positif, tidak ada emosi negatif sesungguhnya keduanyalah yang menjadikan
kita manusia. Menerima yang kita anggap baik dan menolak yang kita takuti,
membuat kita hidup dalam dunia pura-pura. Membuat hidup kita pincang dan tidak
lengkap. Membuat hati kita berlubang.
Saya Flora, saat
saya berusia 18 bulan, ayah dan ibu saya bercerai, Ibu saya pindah keluar
negeri, ayah saya menikah dan mempunyai dua anak lagi, ayah dan ibu baru saya
pun selalu bertengkar dan akhirnya mereka bercerai kembali. Saya adalah salah
satu dari banyak anak yang tidak mendapatkan kebutuhan dasar emosi dari orang
tua saya, saya tumbuh dengan lubang itu, tidak merasakan kasih sayang dari orang
tua saya, saya bertumbuh menjadi gadis yang cukup baik, saya suka tersenyum dan
merasa bahagia, namun saya tidak mau merasakan beberapa emosi yang saya takut
untuk hadapi:kesedihan, amarah dan kecewa, saya mengabaikan dan memendamnya
dalam diri saya, membuat saya menjadi cacat dan kehilangan separuh diri saya
ini, kini saya mulai mengerti keadaan saya, masalah saya dan sedang berusaha
untuk mengatasinya, semoga gadis yang kehilangan dirinya ini bisa lengkap
kembali:D
1 comments